Awal yang Biasa, Berakhir dengan Duka
Awal September 2025 seharusnya menjadi hari-hari biasa di Bali. Langit cerah, pantai yang ramai, dan wisatawan yang memenuhi jalan-jalan. Namun, malam 9 September semuanya berubah. Hujan deras turun tanpa henti, mengubah jalan raya menjadi sungai deras dalam hitungan jam.
Di Denpasar, sungai Tukad Badung meluap, menghantam bangunan di sempadan sungai, merobohkan dinding, dan menyeret barang dagangan. “Air naik begitu cepat, saya bahkan tidak sempat menyelamatkan apa-apa,” kenang Wayan, pedagang Pasar Badung. Kisahnya hanyalah satu dari ribuan cerita getir yang lahir dari tragedi banjir Bali September 2025.
Puncak Banjir: Air Menelan Kota dan Desa
Data resmi mencatat curah hujan mencapai 150 milimeter per hari, bahkan di beberapa titik mencapai 385 milimeter—angka yang biasanya turun dalam sebulan penuh. Puncak banjir terjadi pada 10 September, ketika air setinggi dua hingga tiga meter menutup permukiman dan kawasan pariwisata.
Bencana ini tidak hanya menghantam Denpasar. Gianyar, Badung, Tabanan, Karangasem, Jembrana, dan Klungkung juga terendam. Longsor, sawah terendam, hingga jembatan runtuh menandakan runtuhnya sistem hidrologi pulau secara menyeluruh.
Menyibak Penyebab: Dari Langit hingga Tata Ruang
Banjir Bali September 2025 tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Dari langit, fenomena Gelombang Rossby Ekuatorial memicu hujan ekstrem. Dari daratan, drainase yang sempit dan tersumbat sampah membuat air tak punya jalan keluar.
Sawah dan ruang terbuka hijau yang dulu menjadi daerah resapan kini berubah menjadi vila, hotel, dan jalan aspal. Sistem subak yang selama ratusan tahun menjaga keseimbangan air kian terpinggirkan. Bahkan di pesisir, pasang laut memperlambat aliran air, memperparah genangan.
Kisah-Kisah Kemanusiaan yang Menggetarkan
Di balik data, ada kisah manusia yang menggugah hati. Saimah, ibu muda, bertahan di plafon rumah kos bersama bayi empat bulan dan anak enam tahun selama lima jam. Ketut Anik terseret arus deras namun selamat karena berpegangan pada akar pohon. Bahkan seekor anjing menjadi pahlawan, menyelamatkan tuannya dengan gonggongan keras saat air mulai naik.
Korban Jiwa dan Kerugian Material
Tragedi ini merenggut sedikitnya 18 nyawa. Lebih dari 500 orang mengungsi, sementara kerugian material tak terhitung. Pasar Badung dan Kumbasari porak-poranda. Di Jembrana, ratusan hektare sawah terendam, mengancam mata pencaharian petani. Dua jembatan runtuh, dan underpass Dewa Ruci di Kuta berubah menjadi danau buatan.

Kerugian material di Jembrana saja diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah. Ironisnya, hotel besar dan bandara tetap beroperasi, sementara pedagang kecil dan petani justru menanggung beban paling berat.
Luka Kedua: Sampah yang Menumpuk
Saat air surut, Bali menghadapi luka baru. Sungai dan pesisir dipenuhi lebih dari 150 ton sampah, mayoritas plastik. Krisis ini mengancam ekosistem bakau, laut, dan air tanah, memperlihatkan rapuhnya pengelolaan sampah di Bali.
Citra Pariwisata vs. Realitas di Lapangan
Pemerintah berusaha menenangkan publik dengan menyatakan pariwisata tetap aman. Namun, foto dan video wisatawan asing dievakuasi dengan perahu karet di Kuta viral di media sosial. Wisatawan lebih percaya pada apa yang mereka lihat sendiri daripada narasi resmi.
Pelajaran Berharga untuk Masa Depan
Banjir Bali September 2025 adalah peringatan keras. Ini bukan sekadar soal curah hujan, tetapi buah dari pilihan pembangunan selama puluhan tahun. Jika hanya membangun drainase baru, kita hanya menambal luka, bukan menyembuhkan.
Bali butuh penegakan hukum tata ruang, revitalisasi subak sebagai infrastruktur hijau, dan komitmen menjadikan keberlanjutan ekologis sebagai syarat utama pariwisata.
“Bali tidak bisa hanya menjadi surga untuk wisatawan, tapi harus tetap menjadi rumah yang aman untuk anak cucu kita,” ujar seorang tokoh adat di Gianyar. Kata-kata ini adalah refleksi mendalam. Tragedi banjir 2025 adalah cermin: apakah kita akan berubah atau terus mengulang kesalahan yang sama setiap musim hujan?