Oke, sebentar, tarik napas dulu. Sebelum kita masuk ke neraka digital yang kita ciptakan sendiri ini, ayo kita pura-pura jadi ‘intelektual’ dan ‘berbudaya’ sejenak. Ada sebuah konsep kearifan lokal kuno, kedengarannya agung dan suci, namanya Desakalapatra.
Ini pada dasarnya adalah manual bertahan hidup dari Bali yang sudah ada jauh sebelum manusia menemukan cara untuk saling menghina satu sama lain lewat layar kaca. Secara harfiah, ini adalah tiga pilar kewarasan:
- Desa (Tempat): Menyadari di mana telapak kaki (atau ujung jarimu) sedang berpijak. Filosofi aslinya: apa yang dianggap sopan di pura, mungkin dianggap konyol di pasar.
- Kala (Waktu): Menyadari zaman atau momen yang sedang berjalan. Dulu, ini dipakai untuk menentukan kapan hari baik untuk memulai sesuatu, seperti upacara atau membangun rumah.
- Patra (Keadaan): Ini adalah variabel ‘X’ yang paling rumit dan paling sering dilupakan. Ini tentang membaca kondisi, situasi, atau konteks spesifik yang sedang terjadi pada saat itu.
Inti dari konsep agung ini adalah: Tidak ada kebenaran yang kaku. Semua hal—aturan, etika, ritual, bahkan lelucon—sifatnya relatif. Apa yang benar di tempat A, bisa jadi salah besar di tempat B. Apa yang pantas di waktu A, bisa jadi bencana di waktu B. Semuanya tergantung keadaan.
Terdengar bijak, bukan? Tentu saja.
Nah, sekarang mari kita ambil konsep luhur ini dan seret ke tempat paling tidak luhur di muka bumi: Internet.
Selamat datang di era digital, sebuah taman bermain indah yang lantainya dipenuhi pecahan kaca, ranjau darat, dan opini-opini netizen yang lebih pedas dari Samyang level 5. Di sini, satu postingan salah bisa membuat karier, reputasi, dan sisa kewarasan kamu lenyap lebih cepat dari gaji tanggal muda.
Semua orang bilang, “Jadilah diri sendiri!” Tapi “diri sendiri” yang mana? Yang suka dark joke di depan teman-teman? Atau yang sopan saat minta restu calon mertua? Kebingungan ini nyata.
Untungnya, kearifan lokal tadi—Desakalapatra—masih relevan. Bukan, ini bukan nama jurus di anime. Ini adalah seni bertahan hidup yang lebih penting dari asuransi jiwa di zaman sekarang. Mari kita preteli konsep kuno ini untuk kebutuhan modern kita: bertahan dari amukan massa digital.
1. Desa (Tempat): Pilih Arena Gladiator Kamu dengan Bijak
Anggap saja setiap platform media sosial adalah sebuah “Desa” dengan hukum adatnya sendiri yang kejam dan tak tertulis. Salah kostum di desa yang salah? Siap-siap dirajam secara virtual.
- LinkedIn (Desa Para Pencari Muka): Di sini, semua orang “humbled,” “honored,” dan “excited to announce.” Mengunggah foto liburan sambil mabuk di sini sama dengan menandatangani surat pengunduran diri secara sukarela. Bahasa wajib: korporat. Topik aman: produktivitas (palsu). Tujuan: terlihat sibuk dan sukses, meski di dunia nyata kamu sedang makan mi instan di akhir bulan.
- X/Twitter (Desa Para Gladiator Haus Darah): Selamat datang di Colosseum Roma versi digital. Di sini, orang tidak datang untuk damai. Mereka datang untuk bertarung atau menonton pertarungan. Salah ketik satu huruf bisa menjadi bahan roasting nasional. Memberi opini? Pastikan kamu siap mental untuk di-doxxing, diserang, dan argumen kamu dipelintir sampai nenek moyang kamu ikut di-tag.
- Instagram (Desa Pameran Kebahagiaan Fana): Ini adalah galeri seni di mana semua orang memajang versi terbaik hidup mereka (yang sudah diedit 3 kali pakai filter). Mengeluh soal hidup di sini adalah pelanggaran. Aturan utama: harus estetik. Kalau makananmu tidak Instagrammable, jangan dimakan. Telan saja kesedihanmu.
- Grup WhatsApp Keluarga (Desa Paling Berbahaya): Inilah level neraka tertinggi. Sebuah tempat yang dipenuhi hoaks “sebarkan ke 10 temanmu,” gambar selamat pagi dengan bunga berkelip, dan pertanyaan “kapan nikah?” dari om-tante yang bahkan tidak kamu ingat namanya. Salah mengirim stiker sarkastik di sini bisa membuat kamu dicoret dari kartu keluarga dan daftar warisan. Proceed with extreme caution.
2. Kala (Waktu): Seni Mengetahui Kapan Harus Mingkem
Waktu adalah segalanya. Terutama waktu untuk tidak mengatakan apa-apa. Kecepatan jari kamu berbanding terbalik dengan kecerdasan emosional kamu.
- Saat Ada Tragedi Nasional: Ini BUKAN “Kala” yang tepat untuk mem-posting foto OOTD atau pamer gadget baru. Kecuali kamu memang ingin namanya trending di Twitter dengan tagar #Tolak(NamaKamu). Simpan dulu konten pamer kamu. Publik sedang tidak butuh bukti bahwa hidup kamu lebih baik dari mereka.
- Saat Isu Sensitif Sedang Viral: Ada drama artis, skandal politik, atau isu sosial yang panas? Tahan dulu hasrat untuk jadi komentator ahli. “Kala”-nya belum tentu tepat. Tunggu sampai debunya sedikit mereda, kecuali kamu memang seorang masokis yang menikmati notifikasi penuh hujatan. Ingat, internet tidak akan lupa.
- Saat Tengah Malam dan Emosi: Jam 2 pagi, galau karena mantan, dan sedikit mabuk? Ini adalah “Kala” terburuk untuk memegang ponsel. Matikan data seluler kamu. Buang HP kamu ke seberang ruangan. Tangan kamu di bawah pengaruh emosi adalah senjata pemusnah massal bagi reputasi kamu sendiri.
3. Patra (Keadaan): “Vibe Check” Sebelum Kamu Merusak “Vibe”
Ini adalah bagian tersulit: membaca situasi. Apakah orang sedang butuh dukungan, lawakan, atau solusi? Salah baca, kamu akan terlihat seperti badut di acara pemakaman.
- Keadaan Orang Lain: Teman kamu curhat baru saja di-PHK. Ini BUKAN “Patra” yang pas untuk menjawab, “Sabar ya, setidaknya kamu sekarang punya banyak waktu luang buat healing!” atau lebih parah, “Aku juga lagi stres nih, kerjaan di kantor numpuk banget.” Cukup dengarkan. Tawarkan bantuan. Jangan jadikan penderitaan mereka panggung untuk masalah kamu.
- Keadaan Sebuah Tren: Apakah lawakan yang kamu ingin pakai masih relevan atau sudah basi seminggu yang lalu? Apakah kamu benar-benar paham konteks meme yang kamu share? Jangan sampai kamu ikut tren yang ternyata punya makna gelap, lalu berakhir dengan permintaan maaf sambil menangis di Instagram Story.
- Keadaan Diri Sendiri: Ini yang terpenting. Apakah kamu sedang dalam keadaan mental yang siap menerima kritik? Jika tidak, jangan posting sesuatu yang kontroversial. Dunia maya tidak peduli jika kamu sedang rapuh. Mereka akan mengunyah kamu hidup-hidup dan meludahkannya.
Kesimpulan Suram:
Jadi, Desakalapatra di era digital bukanlah tentang menjadi orang baik atau bijaksana. Ini adalah tentang bertahan hidup. Ini adalah kalkulasi dingin untuk meminimalkan kerusakan. Anggap saja ini cheat sheet untuk menavigasi medan perang digital tanpa harus meledakkan diri sendiri.
Sebelum posting, tanyakan tiga hal ini pada diri kamu: Apakah ini tempat yang tepat? Apakah ini waktu yang tepat? Dan apakah keadaan memungkinkan?
Jika ada satu saja keraguan, tutup aplikasinya. Karena di pengadilan media sosial, kamu dianggap bersalah sampai terbukti tidak relevan lagi. Dan jejak digital, kawan, lebih abadi daripada pahala.