Bali. Di kepala turis, isinya cuma tiga: pantai, pura, dan bule kena sunburn. Kalau di kepala kita isinya juga tiga: macet, beach club mahal, dan pertanyaan “kapan nikah?” dari keluarga besar.
Di tengah-tengah stereotip itu, ada sekelompok makhluk mitologi yang disebut Generasi Muda Bali. Banyak yang khawatir, “Wah, anak sekarang pasti udah lupa sama adat, sibuk main TikTok!” Eits, jangan salah. Mereka memang sibuk main TikTok, tapi justru di sanalah mereka menyelamatkan tradisi dari kepunahan.
Kaget? Sama. Mari kita bedah bagaimana Generasi Muda Bali ini melakukan sulap budaya di era digital yang serba sat-set.
Medsos Adalah Pura Digital, Netizen Adalah Umatnya
Dulu, transfer ilmu itu dari kakek ke bapak ke anak. Sekarang? Dari Mbah Google ke FYP TikTok. Para pemuda-pemudi ini sadar betul kalau audiensnya lebih betah nonton video 15 detik daripada dengerin wejangan 15 menit.
- Tutorial Mebanten di Reels: “Capek nanya ibu cara bikin canang yang benar? Tenang, udah ada tutorialnya di Instagram Reels, lengkap dengan backsound yang lagi viral. Pahala dapat, views pun dapat.”
- Live Streaming Odalan: Gak bisa pulang kampung buat sembahyang? Santai. Tinggal join live stream odalan di pura dari akun YouTube sekaa teruna (organisasi pemuda) setempat. Absen sama Ida Sang Hyang Widhi Wasa kini bisa via kolom komentar.
- Tari Bali Go International (via TikTok): Gerakan tari Legong yang rumit bisa jadi dance challenge yang viral. Siapa sangka, berkat TikTok, orang di Brazil bisa ikut belajar agem dan tandang walau hasilnya lebih mirip orang kesetrum.
Intinya, mereka mengubah smartphone—alat yang dituduh sebagai biang keladi kelunturan budaya—menjadi megafon paling efektif.
Tradisi Dikasih ‘Filter Instagram’ Biar Nggak Kelihatan Kuno
“Tradisi itu kaku,” kata siapa? Kata orang yang kurang gaul. Generasi Muda Bali adalah ahlinya remix budaya. Mereka paham, biar tradisi dilirik, penampilannya harus di-upgrade, ibarat iPhone ganti seri setiap tahun.
- Musik Gamelan Masuk Bar: Jangan kaget kalau lagi nongkrong di bar Seminyak terus dengar beat EDM yang disisipi suara gangsa dan reyong. Itu bukan DJ-nya salah pencet, itu namanya inovasi. Biar para dewa juga bisa ikut ajeg-ajeg sedikit.
- Kain Endek Jadi Streetwear: Kalau dulu kain endek cuma buat kondangan atau ke pura, sekarang sudah menjelma jadi kemeja oversized, bucket hat, sampai sneakers. Inilah cara lari dari tanggung jawab adat, tapi tetap kelihatan modis.
- Ogoh-ogoh Pakai Teknologi: Jangan bayangkan ogoh-ogoh cuma dari bambu dan kertas. Sekarang banyak yang pakai rangka besi, sistem hidrolik, bahkan lighting LED yang lebih heboh dari konser K-Pop. Bhuta Kala pun dibuat jadi lebih glowing.
Mereka bukan merusak, mereka hanya melakukan rebranding. Tradisi 2.0, kalau boleh dibilang.
Cuan, Cuan, Cuan! Karena Ngayah Juga Butuh Makan
Mari kita jujur, semangat ngayah (kerja bakti) kadang tergerus oleh cicilan KPR. Sadar akan hal ini, banyak Generasi Muda Bali yang mengubah warisan budaya menjadi ladang cuan yang etis.
Mereka mendirikan coffee shop yang arsitekturnya berfilosofi Bali (bukan cuma pajang lukisan pasar Ubud), menciptakan merek-merek fesyen lokal yang memberdayakan penenun di desa, membuka paket wisata “anti-mainstream” yang mengajak turis ikut membuat sesajen, bukan cuma foto-foto.
Karena cara terbaik melestarikan budaya adalah dengan membuatnya bisa menghidupi para pelakunya. Betul tidak? (Baca selengkapnya tentang kewirausahaan budaya di Bali).
Jadi, Apa Nasib Tradisi Bali di Tangan Mereka? Aman atau Ambyar?
Jawabannya: Aman sentosa.
Mungkin cara mereka berbeda dan mereka lebih sering pegang HP daripada canang. Dan tidak jarang doa mereka kadang diselipi harapan agar kontennya FYP.
Tapi di balik semua kelakuan “ajaib” itu, ada rasa memiliki yang kuat. Generasi Muda Bali tidak melihat tradisi sebagai beban warisan, melainkan sebagai software yang bisa terus di-update. Mereka adalah bukti hidup bahwa menjadi modern tidak berarti harus menjadi kebarat-baratan.
Jadi, kalau lain kali Anda lihat anak muda Bali lagi asyik main HP di pura, jangan buru-buru menghakimi. Siapa tahu dia lagi Googling mantra yang benar, atau lagi koordinasi jadwal ngayah di grup WhatsApp yang notifnya lebih ganas dari tagihan paylater. Mereka sedang berjuang, dengan cara mereka sendiri. Dan sejauh ini, kelihatannya berhasil.