ORASI

kampus bali

Fenomena ‘Joki Tugas’ Berbasis AI di Kampus Bali: Jalan Pintas Menuju ‘Generasi Cemas’?

Pemandangan di coffee shop hits sekitaran Renon, Jimbaran, atau Denpasar kini sedikit berubah. Jika dulu mahasiswa terlihat stres menumpuk buku referensi atau mengetik dengan kecepatan cahaya mengejar deadline, sekarang suasananya lebih “zen”. Mereka menyeruput iced americano, menatap layar laptop, mengetik satu kalimat pendek, lalu membiarkan kursor berkedip menyelesaikan tugas makalah 15 halaman dalam hitungan detik.

Selamat datang di era “Joki AI”. Tak perlu lagi membayar kakak tingkat atau jasa ketik skripsi di pinggir jalan. Cukup login, ketik perintah, dan biarkan kecerdasan buatan yang bekerja.

Namun, di balik kemudahan “sat-set” ini, muncul perdebatan panas di ruang dosen dan tongkrongan mahasiswa idealis di Bali: Apakah teknologi ini melahirkan generasi emas, atau justru generasi yang hanya cerdas di permukaan tapi keropos di dalam?

Jago Prompting, Tapi Logika Error?

Istilah “Joki Tugas” kini bergeser makna. Dulu pelakunya manusia, sekarang pelakunya algoritma. Investigasi ringan kami menemukan pola yang menggelitik di beberapa kampus swasta dan negeri di Bali.

Banyak mahasiswa kini lebih ahli meracik prompt (perintah) daripada meracik argumen. “Buatkan esai tentang dampak pariwisata Bali pasca-pandemi dengan gaya bahasa akademis tapi santai,” adalah mantra sakti. Hasilnya? Tulisan rapi, struktur ciamik, bahasa Inggris tanpa grammar error.

Masalahnya muncul saat sesi presentasi atau tanya jawab. Ketika dosen bertanya, “Bisa jelaskan korelasi argumen di paragraf kedua dengan data di lapangan?”, mahasiswa tersebut seringkali blank. Mereka tidak tahu, karena bukan mereka yang “berpikir”. Mereka hanya operator mesin.

“Tulisannya sih level profesor, tapi pas ditanya lisan, jawabannya level anak TK,” keluh salah satu dosen Ilmu Sosial di Denpasar yang enggan disebutkan namanya.

Ini memunculkan fenomena baru: Mahasiswa yang jago prompting, tapi nol logika. Mereka kehilangan kemampuan menyambungkan benang merah sebab-akibat karena terbiasa menerima “produk jadi”.

Dilema Etika: Cerdas Instan atau Bodoh Permanen?

Di sinilah letak perdebatan etisnya. Mahasiswa beralasan ini adalah bentuk working smart, not hard. “Kenapa harus baca 10 jurnal kalau AI bisa merangkumnya dalam 10 detik?” bela seorang mahasiswa semester 5. Bagi mereka, AI adalah alat bantu, sama seperti kalkulator bagi akuntan.

Namun, bagi mahasiswa idealis dan akademisi, ini adalah pembodohan terstruktur.

Menggunakan AI untuk brainstorming ide itu cerdas. Tapi menyerahkan 100% proses berpikir pada AI adalah jalan menuju “Bodoh Permanen”. Otak yang tidak dilatih menganalisis, mengkritisi, dan menyusun argumen, lama-kelamaan akan tumpul.

Bayangkan calon sarjana hukum yang tidak bisa menyusun argumen hukum tanpa bantuan ChatGPT, atau mahasiswa teknik yang percaya begitu saja pada hitungan AI tanpa verifikasi manual. Mengerikan, bukan?

Ancaman bagi “Generasi Emas”

Indonesia digadang-gadang menyongsong “Generasi Emas 2045”. Namun, jika pola pikir instan ini terus dibudayakan di kampus-kampus Bali, kita mungkin sedang mencetak “Generasi Cemas”.

Mereka akan menjadi lulusan yang terlihat kompeten di atas kertas (atau layar), namun gagap saat menghadapi masalah dunia nyata yang kompleks dan tidak memiliki pola database di internet.

Fenomena Joki AI ini adalah pisau bermata dua. Ia bisa menjadi asisten riset yang brilian jika dikendalikan oleh tuan yang cerdas. Tapi, ia akan menjadi tuan yang memperbudak jika penggunanya malas berpikir.

Pertanyaannya untuk para mahasiswa di Bali hari ini: Kalian yang mengendalikan AI, atau AI yang perlahan menggantikan otak kalian?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *