ORASI

Ketika ‘Ulah Pati’ Jadi Solusi, Siapa yang Menanggung Bebannya?

Suara kiriman dari: Ary Kusuma Arcana


Selamat datang di Bali, pulau surga di mana selain sunset-nya yang indah, angka bunuh dirinya juga juara satu se-Indonesia. Ironis, bukan? Di tengah citra sebagai destinasi spiritual dan liburan impian, ada kenyataan pahit yang lebih kelam dari kopi Bali tanpa gula. Mari kita bedah fenomena Ulah Pati ini dengan sarkasme yang pantas, karena kadang, menertawakan tragedi adalah satu-satunya cara agar tidak ikut gila.

Prestasi yang Tak Perlu Dibanggakan: Bali Juara Umum Bunuh Diri

Kalau ada olimpiade untuk kategori mengakhiri hidup, Bali tampaknya sudah siap mengirim kontingen terkuat. Data menunjukkan Bali secara konsisten menduduki peringkat teratas untuk tingkat bunuh diri per kapita di seluruh Indonesia. Angkanya meroket tajam setelah pandemi, seolah-olah Work From Home di sini diartikan sebagai Work From Hell.   

Sebuah prestasi gemilang yang entah kenapa tidak pernah masuk dalam brosur pariwisata. Kali ini, biang keladinya bukan aplikasi pinjaman, melainkan sesuatu yang lebih personal: tekanan keluarga, perundungan (bullying), masalah asmara, dan beban pendidikan yang terasa seperti membawa pura di punggung. Di masyarakat yang sangat komunal, ternyata kesepian dan keputusasaan bisa tumbuh subur di tengah keramaian.

Ulah Pati: Ketika Meninggal Saja Ada Prosedurnya

Dalam kamus kearifan lokal Bali, tidak semua kematian diciptakan setara. Ada dua kategori utama untuk kematian yang tidak wajar :   

  1. Salah Pati: Ini adalah kematian akibat kecelakaan murni. Misalnya, kamu terpeleset saat sedang asyik membuat konten TikTok di tepi tebing. Tragis, tapi dianggap musibah.
  2. Ulah Pati: Nah, ini adalah kategori VIP untuk mereka yang sengaja menekan tombol ‘exit’ dari kehidupan. Gantung diri, minum racun, atau melompat dari jembatan—semuanya masuk kategori ini.   

Masalahnya, memilih jalur Ulah Pati itu seperti membeli tiket konser dengan biaya tambahan yang tidak masuk akal. Roh almarhum dianggap tersesat dan butuh semacam GPS spiritual agar tidak gentayangan mengganggu turis. Prosesinya pun super ribet: ada upacara di TKP, di perempatan jalan, sampai di gerbang kuburan. Semua ini harus dilakukan sebelum jenazah bisa diproses secara normal.   

Dan ganjarannya? Menurut kitab suci, roh pelaku Ulah Pati akan mendapat paket liburan all-inclusive di neraka selama 60.000 tahun. Sebuah penawaran yang jelas mendapat rating bintang satu di akhirat.   

Pesta Perpisahan yang Mahal: Mati Itu Beban, Apalagi Bunuh Diri

Jika kamu berpikir bunuh diri adalah jalan keluar dari masalah finansial, kamu salah besar. Di Bali, itu justru awal dari masalah finansial baru bagi yang ditinggalkan.

Pertama, ada konsep cuntaka atau sebel, yaitu keadaan tidak suci secara ritual. Satu orang melakukan Ulah Pati, satu banjar (dusun) bisa kena suspend dari kegiatan keagamaan selama berhari-hari. Sangat efisien dalam menyebarkan kerepotan.   

Kedua, biayanya. Keluarga tidak hanya harus menanggung biaya upacara Ngaben (kremasi) yang sudah selangit, tapi juga ditambah biaya ritual khusus Ulah Pati. Totalnya? Cukup untuk DP rumah KPR. Banyak keluarga akhirnya terpaksa berutang atau menjual warisan hanya untuk membiayai upacara orang yang bunuh diri karena utang. Ironi yang lebih pedas dari sambal matah.   

Tidak berhenti di situ. Jika kasus Ulah Pati dianggap mencemari seluruh desa, maka desa adat wajib menggelar upacara pembersihan massal seperti Caru Balik Sumpah. Biayanya bisa mencapai ratusan juta rupiah, yang dananya diambil dari kas desa atau iuran warga. Jadi, keputusan satu orang bisa membuat seluruh desa nombok.   

Studi Kasus: Ketika Empati Cuma Ada di Kamus

Untuk melihat betapa kacaunya situasi ini, mari kita lihat dua contoh nyata dari Denpasar:

  • Kasus Mahasiswa UNUD: Seorang mahasiswa yang jelas-jelas punya riwayat masalah kesehatan mental akhirnya melompat dari gedung kampus. Apa yang terjadi selanjutnya? Rekan-rekan mahasiswanya di grup WhatsApp malah menjadikannya bahan lelucon dan meme. Sanksi dari kampus? Cuma “pembinaan” dan pengurangan nilai soft skill. Mungkin soft skill yang dimaksud adalah “belajar punya empati”, dan jelas mereka semua tidak lulus.   
  • Kasus Siswa SMP: Seorang anak 15 tahun gantung diri, meninggalkan surat yang intinya minta maaf karena “belum bisa mengasi harapan yang bapak inginkan”. Ini bukan soal uang. Ini soal tekanan ekspektasi yang begitu berat hingga seorang anak merasa lebih baik mati daripada mengecewakan orang tuanya.  

Belajar dari Senior: Sedikit Inspirasi dari Jepang

Coba kita tengok Jepang. Mereka sudah lebih dulu berada di jalur ini. Di sana, ada hutan Aokigahara, yang secara tidak tertulis dikenal sebagai tujuan bunuh diri. Mengapa? Salah satu alasannya adalah agar tidak mengganggu ruang publik. Sebuah bentuk “pengaturan” yang dingin dan mengerikan, yang menunjukkan bagaimana masyarakat bisa secara sistematis mendorong penderitaan jiwa ke sudut-sudut tersembunyi agar tidak merusak pemandangan.

Lebih parah lagi adalah istilah 人身事故 (jinshin jiko), yang berarti “kecelakaan yang melibatkan manusia.” Ini adalah sebuah eufemisme halus untuk bunuh diri di jalur kereta. Peristiwa ini dianggap sangat mengganggu ketertiban umum karena bisa menghentikan layanan kereta selama berjam-jam, terutama saat rush hour.

Publik mengeluh karena terlambat kerja, bukan karena ada nyawa yang hilang. Media pun jarang menyebutnya sebagai bunuh diri secara eksplisit—karena dianggap tabu dan “mengganggu kenyamanan publik.”

Puncaknya? Keluarga korban bisa dituntut oleh perusahaan kereta untuk membayar biaya keterlambatan dan pembersihan yang mencapai jutaan yen. Persis seperti skenario “menagih biaya mecaru” yang kita khawatirkan. Tragedi personal diubah menjadi masalah logistik dan finansial publik.

Melihat Jepang, kita seharusnya bergidik. Apakah kita sedang menuju ke arah yang sama?

Waktunya Mengirim Tagihan ke Alamat yang Benar

Selama ini, beban Ulah Pati—baik secara spiritual maupun finansial—ditimpakan pada korban dan keluarganya. Ini sudah saatnya diubah. Jika bunuh diri adalah produk dari lingkungan yang gagal, maka lingkungannya yang harus membayar.

Mari kita berandai-andai dengan sebuah konsep keadilan adat yang baru:

  • Untuk Kasus Bullying: Seluruh biaya upacara pengulapancaru desa, dan tetek bengek lainnya yang mencapai ratusan juta itu, ditagihkan sepenuhnya kepada para pelaku perundungan dan keluarganya. Biar mereka merasakan langsung harga dari kata-kata dan tindakan mereka. Anggap saja ini “denda karma” yang bisa dicairkan di dunia.
  • Untuk Masalah Asmara & Tekanan Keluarga: Jika pemicunya adalah drama percintaan yang pelik atau ekspektasi keluarga yang tidak masuk akal, mungkin pihak-pihak terkait bisa diwajibkan membiayai sesi konseling untuk seluruh banjar. Biar semua belajar cara menjadi manusia yang lebih baik dan tidak menciptakan “korban” baru.

Jadi, Apa Solusinya?

Tentu, ini hanya fantasi sarkastis. Tapi pesannya jelas: akuntabilitas. Berhentilah menyalahkan korban yang sudah tiada. Mulailah menunjuk hidung mereka yang masih hidup dan bertanggung jawab atas penderitaan orang lain.

Sebelum lingkungan mu menghasilkan korban berikutnya, mungkin ada baiknya belajar empati. Atau setidaknya, sadar bahwa setiap nyawa yang hilang karena tekanan sosial adalah kegagalan kita semua.

Jika kamu atau seseorang yang kamu kenal sedang berjuang, ada bantuan yang lebih baik daripada sekadar “sabar ya”.

Hubungi

  • BISAHelpline di 0811-111-0-811
  • Kemenkes Hotline 119 ext. 8
  • @intothelightid

Layanan ini gratis dan profesional buat kamu yang mau konseling problematika kehidupan yang bikin kamu merasa hopeless. Jauh lebih baik daripada harus patungan bayar upacara karena kamu gagal menjaga lisan dan perbuatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *