ORASI

Duka Cita dari Kelingking Beach: Laporan Kematian “Seleksi Alam” dan Hilangnya Hak Pamer

Kabar duka datang dari tebing paling fotogenik se-Nusa Penida, atau mungkin se-Instagram. “Seleksi Alam”, filter alami yang selama puluhan tahun bekerja dengan sangat baik di Kelingking Beach, dilaporkan telah tiada.

Penyebab kematian: sebuah ide brilian bernama “kemajuan” yang diwujudkan dalam struktur bangunan serupa lift. Mari kita mengheningkan cipta sejenak untuk sang mendiang: tangga lama.

Panggung Wajib Lapor Instagram

Tentu, Kelingking Beach itu indah. Jika kamu belum pernah melihatnya, buka saja media sosial kamu. Pasti ada. Pemandangan dari atas adalah panggung raksasa yang disediakan alam, menampilkan tebing kapur yang (katanya) mirip T-Rex. Di bawahnya, ada pasir putih dan air biru pirus yang sempurna untuk di-filter lagi.

Di sinilah ribuan foto ikonik—dan jutaan foto tiruannya—diambil. Tempat ini adalah definisi “destinasi wajib” di mana kamu antre untuk mengambil foto di titik yang sama persis dengan semua orang, membuktikan bahwa kamu… yah, berhasil sampai di tempat parkir.

Ujian yang (Dulu) Sebenarnya: Ritual Penyiksaan Betis

Pemandangan dari atas mungkin gratis dan mudah, tapi “hadiah” sesungguhnya—pantai itu sendiri—dulu membutuhkan pengorbanan. Inilah yang memisahkan turis dari petualang sejati. Atau lebih tepatnya, memisahkan “Kaum Kuat Betis” dari “Kaum Mending Foto dari Atas Saja, Deh”.

Jalur lamanya adalah mahakarya desain evolusioner. Ia adalah bouncer klub malam paling eksklusif di Bali. Medannya sempit, berbatu, dan di beberapa titik hampir vertikal, hanya mengandalkan pagar kayu sederhana dan doa. Perjalanan turun (45 menit) adalah ritual; perjalanan naik (satu jam lebih) adalah penebusan dosa.

Setiap turis yang mengeluh “kenapa susah banget, sih?” adalah bukti bahwa sistem ini bekerja. Tangga itu adalah penjaga gerbang yang memastikan bahwa yang sampai di bawah hanyalah mereka yang benar-benar nekat.

Hadiah di Bawah: Pasir Perawan dan Hilangnya “Hak Pamer”

Bagi mereka yang berhasil selamat dari jalur terjal itu, hadiahnya sepadan. Hamparan pasir putih yang (dulu) terasa hampir perawan. Dan tentu saja, ombak ganas Samudra Hindia yang siap menelan siapa saja yang nekat berenang—satu lagi filter alami yang bekerja baik.

Tapi hadiah utamanya bukan itu. Hadiah utamanya adalah “Hak Pamer”.

Foto di pantai Kelingking dulu adalah sebuah trofi. Itu adalah bukti visual bahwa kamu telah menaklukkan Maut (oke, mungkin berlebihan) atau setidaknya menaklukkan 400 meter jalur yang didesain oleh iblis yang hobi panjat tebing. Keringat di dahi dan lutut gemetar adalah bagian dari aesthetic. Foto itu berbunyi: “Saya berhasil turun-dan-naik-lagi-dan-selamat!”

Sekarang? Apa yang mau dipamerkan? “Saya berhasil tidak mabuk di dalam kotak besi yang bergerak pelan itu”? “Saya berhasil menekan tombol ‘Turun'”?

Nilai street cred dari foto di pantai Kelingking akan segera anjlok, terjun bebas lebih cepat daripada lift-nya sendiri. Kita telah secara efektif mengubah pencapaian epik menjadi transaksi karcis.

Selamat Datang Semuanya (Tanpa Terkecuali)

Dengan dibukanya “jalan tol” vertikal ini, kita menyambut era baru. Era di mana pantai Kelingking yang mungil itu bukan lagi “surga tersembunyi”, tapi “Surga All-You-Can-Visit”.

Jika dulu yang turun hanya segelintir orang nekat per hari, bayangkan indahnya jika ada ratusan orang per jam di pantai sekecil itu. Pantai akan penuh sesak, tapi yang penting, semua orang bisa merasakan.

Selamat datang era di mana semua orang, terlepas dari kondisi fisik, persiapan, atau (yang paling penting) niat untuk menjaga alam, bisa turun. Yang mau pakai high heels? Silakan. Yang mau bawa koper? Kenapa tidak? Toh sekarang sudah ada lift.

Kita telah merampas “karakter” Kelingking. Kita mengubah sebuah petualangan epik menjadi sebuah commute (perjalanan) biasa.

Jadi, mari kita bersulang untuk kemajuan. Kita telah sukses besar “memperbaiki” alam yang desainnya sangat merepotkan itu. Kita telah mengganti filter alami dengan mesin. Kita telah membunuh keistimewaan sebuah tempat demi membuatnya “mudah diakses”.

Apa selanjutnya? Travelator di pasir pantai biar tidak capek jalan? Atau mungkin AC di sepanjang tebing? Kenapa tidak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *