Lupakan sejenak kemacetan abadi di simpang Teuku Umar. Saat ini, isu paling krusial yang membelah masyarakat urban adalah fenomena Kopi Tuku di Denpasar. Sebuah brand kopi susu gula aren dari Jakarta ini telah resmi membuka gerbangnya di Bali, dan hasilnya adalah kekacauan sosial yang indah untuk diamati.
Antreannya, bestie, lebih panjang dari daftar resolusi tahun baru yang gagal total. Sebuah ular naga manusia yang terdiri dari para ksatria ojol, pegawai kantoran, dan mahasiswa yang butuh konten, semuanya rela meleleh di bawah matahari Bali. Antrean tersebut telah menjadi ritual inisiasi, sebuah ziarah suci kaum urban Kodya (Kota Denpasar) menuju tanah suci bernama validasi.
Antrean Panjang Kopi Tuku di Denpasar: Pengorbanan Warga Kodya
Mari lakukan studi antropologi singkat. Di dalam barisan sakral itu, terlihat jelas wajah-wajah penuh harap dari warga lokal Denpasar. Tatapan mereka seolah berkata, “Apakah ini minuman dari surga yang diceritakan teman-teman dari Jakarta?” Percakapan yang terdengar pun seragam: “Penasaran banget, katanya creamy,” atau “Effort dikit lah, biar nggak dibilang kuper.”
Mereka rela menukar satu jam waktu produktif demi membuktikan eksistensi. Momen ketika mereka akhirnya berhasil memegang gelas berlogo Tuku adalah sebuah kemenangan. Kamera HP langsung siaga, angle terbaik dicari, dan story Instagram diunggah dengan caption andalan: “Akhirnya, nyobain juga!” Misi untuk merasakan hype Kopi Tuku di Denpasar pun selesai.
Terbentuknya Kesenjangan Sosial: Kaum ‘Sudah Pernah’ vs ‘Baru Pertama Kali’
Di tengah euforia warga Kodya, lahirlah sebuah kasta sosial baru. Di satu sisi, ada kaum pribumi antrean yang matanya berbinar. Dan ada kaum superior, para veteran Kopi Tuku Jakarta.
Mereka ini mudah dikenali, tidak ikut antre, atau mungkin hanya duduk di motor, mengamati keramaian dengan senyum tipis yang menyiratkan, “Oh, kalian baru sampai tahap ini ya? Lucu.”
Jika beruntung, akan terdengar komentar superior mereka: “Rasanya sama kok kayak yang di Cipete. Cuma di sini lebih drama aja antrenya.” “Di Jakarta sih, minuman ini sudah jadi santapan harian sampai enek.” “Kalian baru pertama kali? Ada tips nih, request less sugar biar kopinya lebih nendang.”
Sebuah kesenjangan sosial yang nyata, bestie. Tiba-tiba, pengalaman minum kopi di masa lalu menjadi penentu derajat sosial. Mereka yang sudah pernah mencoba Tuku merasa punya hak istimewa untuk meremehkan perjuangan kaum ‘baru pertama kali’.
Pada Dasarnya, Ini Cuma Es Kopi Susu Gula Aren
Sekarang, mari bicara jujur. Setelah semua drama dan antrean panjang, apa yang sebenarnya ada di dalam gelas itu?
Kopi. Susu. Gula Aren. Es Batu.
Itu saja. That’s the entire plot. Jangan berharap menemukan ramuan magis dari reruntuhan Atlantis di dalam gelasnya. Minuman ini juga tidak punya kekuatan super untuk menyelesaikan deadline skripsi. Kenyataannya, minuman dari Kopi Tuku di Denpasar ini adalah varian ke sekian ribu dari es kopi susu gula aren yang sudah menjamur di setiap sudut kota.
Pada akhirnya, fenomena Kopi Tuku di Denpasar ini adalah bukti nyata bahwa kita adalah generasi yang lucu. Kita rela menderita demi tren dan membuktikan bahwa kebahagiaan kadang sesederhana segelas kopi susu—selama orang lain tahu kita meminumnya.
Selamat untuk warga Kodya yang telah naik kasta. Dan untuk kaum veteran Jakarta, tenang, superioritas kalian aman… sampai ada brand lain yang buka dan memulai siklus ini dari awal lagi. Anjas ~