Di Bali, quarter-life crisis kamu dimulai di umur 12, dan lower back pain adalah bonus di Otonan ke-40 (baca: umur 20).
Oke, sebelum kita mulai misuh (mengumpat), mari kita luruskan dulu briefing-nya. Biar informasinya seimbang dengan keluh kesahnya.
Bagi yang belum ngeh atau mungkin sengaja amnesia karena repotnya, Otonan adalah hari kelahiran kamu. Tapi bukan yang setahun sekali pakai tiup lilin. Itu terlalu mainstream dan kurang kerjaan. Kita di Bali pakai Kalender Pawukon, sebuah sistem yang begitu kompleks, melibatkan pertemuan antara Wuku, Panca Wara, dan Sapta Wara, yang rumusnya mungkin cuma bisa dipecahkan oleh Balian senior atau AI yang lagi gabut.
Tradisi otonan di bali ini berjalan 210 harian (alias enam bulan sekali).
Secara textbook, tujuannya sangat mulia. Otonan adalah hari di mana kita merayakan karmaphala baik kita dari kehidupan sebelumnya sehingga bisa lahir jadi manusia (lagi). Ini adalah ritual “servis berkala” spiritual kita.
Pada hari itu, kita bersyukur kepada Sang Hyang Widhi dan para leluhur karena, pada dasarnya, invoice kehidupan kita di dunia ini diperpanjang lagi untuk 210 hari ke depan. Ini adalah momen kita mebanten dan melukat, sebuah prosesi laundry jiwa untuk “mereset” poin dosa dan kesialan yang sudah kita kumpulkan susah payah selama enam bulan terakhir—entah itu misuh di kemacetan Canggu, ghosting gebetan, atau pura-pura nggak lihat pas ada krama banjar lewat.
Terdengar indah, khusyuk, dan sangat #Blessed di atas tumpukan utang paylater, bukan? Tentu saja.
Tapi, tidak ada yang memberi tahu kita di awal bahwa “bersyukur” dua kali lebih sering dari orang normal ini punya efek samping. Efek samping yang brutal: Kita jadi cepat tua.
Ya, mari kita luruskan satu hal. Teman kamu di Jakarta baru saja merayakan ulang tahun ke-25 dengan birthday bash mewah. Di umur yang sama, kamu di Bali, baru saja selesai merayakan Otonan ke-50.
Selamat. Kamu sudah setengah baya dalam hitungan kalender Pawukon.
Jika kamu pernah merasa hidup di Bali ini seperti lari maraton yang garis finish-nya terus dimajukan, kamu tidak salah. Salahkan sistemnya. Bukan sistem pemerintahan, tapi sistem kalender kita.
Kita hidup dalam simulasi eksistensial di mana satu tahun Masehi setara dengan dua kali “ulang tahun”. Ya, Otonan, perayaan 210 hari sekali itu, pada dasarnya adalah program akselerasi penuaan yang disponsori langsung oleh kalender warisan leluhur.
Matematika Penuh Derita
Sederhananya begini: sementara dunia luar beroperasi dengan siklus 365 hari yang santai, kita di-tagih oleh takdir setiap enam bulan sekali.
Kalender Masehi itu seperti cicilan KPR dengan bunga flat 20 tahun. Tenang, bisa diprediksi. Kalender Pawukon? Itu pinjol. Bunganya majemuk, dan tanggal jatuh temponya datang tiba-tiba, padahal rasanya baru kemarin bayar.
“Lho, kan Otonan itu untuk perayaan, untuk bersyukur,” kata kamu, mencoba positif.
Tentu. Bersyukur karena kita diingatkan lagi… dan lagi… dan lagi… bahwa waktu kita di dunia ini berjalan dua kali lebih cepat.
Gejala Penuaan Dini (Versi Pawukon)
Program “Cepat Tua” ini punya efek samping yang jelas.
Pantas saja lower back pain sudah jadi sahabat karib anak muda Bali di umur 20-an. Secara teknis, punggung mereka sudah menahan beban 40 kali perayaan otonan di bali. Wajar jika encok datang lebih awal.
Quarter-life crisis yang dialami orang-orang di luar sana pada umur 25, bagi kita, mungkin sudah dimulai sejak Otonan ke-25—yaitu di sekitar umur 12,5 tahun. Saat itulah kita mulai berpikir, “Setelah ini, apa lagi? Kenapa hidup begini-begini saja?” sambil masih pakai seragam SMP.
Kamu heran kenapa orang Bali cepat sekali dewasa pikirannya? Karena kita dipaksa. Otonan adalah pengingat konstan: “Hei, 6 bulan lagi sudah lewat. Kamu masih gitu-gitu aja?”
Tekanan Sosial yang Dipercepat
Sistem ini juga mempercepat datangnya pertanyaan-pertanyaan horor dari keluarga.
Di tempat lain, pertanyaan “Kapan kawin?” mungkin baru muncul di umur 25 tahun. Di Bali, di Otonan ke-50 kamu (alias umur 25), pertanyaannya sudah berevolusi menjadi: “Ini Otonan ke-50 lho, Nak. Banten-nya masa masih Ibu yang urusin? Kapan kamu ngurusin banten Otonan anakmu sendiri?”
Pressure-nya dobel.
Kamu tidak hanya diharapkan untuk sukses secara Masehi, tapi juga harus perform secara Pawukon.
Selamat Menikmati Proses Penuaan Akselerasi
Jadi, lain kali jika kamu merasa lelah, merasa tua sebelum waktunya, atau tiba-tiba mempertanyakan eksistensi kamu saat melihat banten Otonan di atas meja, jangan khawatir.
Itu bukan salah kamu. Itu bukan karena skincare kamu tidak cocok.
Itu hanya efek samping dari berlangganan program “Cepat Tua” eksklusif yang bernama Kalender Pawukon. Sebuah program yang tidak bisa kamu unsubscribe, tidak peduli berapa kali kamu mencoba.
Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah menikmatinya.
Rahajeng Otonan. Semoga di Otonan kamu yang ke-60 (baca: umur 30), cicilan motor kamu sudah lunas. Atau setidaknya, asam urat kamu belum kumat.