Di saat para ilmuwan dunia sedang panik menghitung mundur hari di mana air bersih akan lebih mahal daripada bensin, dan Elon Musk sibuk mencari air di Mars (karena Bumi sudah dianggap kasus tanpa harapan), Bali sebenarnya sudah punya solusinya sejak abad ke-9.
Namanya Subak.
Ya, sistem irigasi yang agung itu. Yang sudah diakui UNESCO sebagai Warisan Dunia. Yang sering kalian jadikan background foto estetik saat healing di Ubud sambil pura-pura peduli lingkungan.
Sementara dunia berteriak “Krisis Air!”, leluhur Bali cuma tertawa kecil sambil nyangkul. Mereka sudah paham konsep sharing is caring soal air jauh sebelum Karl Marx lahir atau sebelum aktivis Gen Z menempelkan diri mereka ke aspal demi protes iklim.
Demokrasi Air: Konsep Asing bagi Kapitalis
Mari kita bedah sedikit kejeniusan Subak—tentu saja dengan kacamata sinis kita.
Subak itu pada dasarnya adalah sistem manajemen air yang demokratis dan egaliter. Air dibagi rata. Kalau hulu dapat, hilir juga harus dapat. Tidak ada cerita petani di atas memonopoli air buat ngisi jacuzzi pribadi sementara petani di bawah cuma dapat lumpur.
Prinsipnya Tri Hita Karana:
- Hubungan dengan Tuhan (Pura Ulun Danu).
- Hubungan dengan Manusia (Rapat Subak).
- Hubungan dengan Alam (Air dan Sawah).
Terdengar indah, bukan? Tentu saja. Ini adalah sistem utopis di mana keserakahan ditekan demi kebaikan bersama. Sebuah konsep yang sangat “kuno” dan tidak relevan di zaman sekarang, di mana prinsip hidup kita adalah “Siapa Cepat, Dia Dapat” dan “Orang Miskin Dilarang Mengeluh.”
Ironi di Atas Piring (dan Kolam Renang)
Inilah bagian lucunya—atau bagian di mana kita harusnya tertawa miris.
Dunia sedang melihat Subak sebagai masterpiece kearifan lokal untuk melawan krisis air. Tapi apa yang kita lakukan di Bali?
Kita sibuk mengubur saluran irigasi Subak itu dengan beton.
Kenapa butuh air untuk menanam padi kalau kita bisa pakai air tanahnya untuk mengisi kolam renang private villa? Siapa butuh beras lokal kalau kita bisa impor beras plastik, kan? Yang penting turis bisa floating breakfast dengan tenang tanpa diganggu pemandangan petani yang sedang depresi karena airnya disedot hotel sebelah.
Kita membanggakan Subak di brosur pariwisata: “Come to Bali, see the ancient irrigation system!” Sementara realitanya: “Come to Bali, stay in a villa built exactly ON TOP of that ancient irrigation system!”
Ini adalah level dark joke tertinggi. Kita menjual “keindahan alam” dengan cara merusak alamnya itu sendiri. Kita memuja “kearifan lokal” sambil memeluk erat “kearifan investor.”
Subak vs Kiamat Air
Jadi, ketika nanti perang dunia ketiga pecah bukan karena minyak tapi karena air (seperti di film Mad Max), orang Bali sebenarnya punya cetak biru untuk selamat. Subak mengajarkan bahwa air bukan komoditas untuk dijual dalam kemasan botol plastik 600ml, tapi darah yang mengalir untuk semua makhluk hidup.
Tapi sayang, saat kiamat itu tiba, mungkin Subak kita sudah tinggal nama. Saluran airnya sudah kering, bukan karena kemarau, tapi karena kalah saing sama penyedot air tanah milik resor bintang lima yang butuh air ribuan liter per hari biar rumput golf-nya tetap hijau.
Subak adalah bukti bahwa nenek moyang kita genius, dan kita adalah generasi penerus yang… yah, sebut saja “kreatif dalam menghancurkan warisan.”
Kearifan lokal ini adalah jawaban krisis air dunia, tapi sepertinya kita lebih memilih jawaban lain: Jual tanahnya, bangun betonnya, dan nikmati cuannya sampai tetes air terakhir.
Selamat menikmati view sawah terasering kalian, sebelum semuanya berubah jadi view tembok tetangga.