Mari kita bicara jujur sebentar. Bagi sebagian besar anak muda Bali masa kini, minggu ini adalah minggu yang membingungkan sekaligus melelahkan. Ada Sugihan Jawa di hari Kamis, lalu back-to-back Sugihan Bali di hari Jumat.
Dua hari berturut-turut kita diminta untuk “membersihkan diri”. Tapi, mari kita bedah apa yang sebenarnya terjadi di lapangan vs. apa yang seharusnya terjadi (menurut lontar yang jarang kita baca).
Sugihan Jawa: Bukan Soal Leluhur Kamu yang dari Majapahit
Setiap Sugihan Jawa (Wraspati Wage Sungsang) tiba, selalu ada satu teman di tongkrongan yang nyeletuk dengan nada bangga—atau malas: “Ah, aku gak usah sembahyang hari ini. Leluhurku kan asli Bali Mula, bukan pelarian Majapahit. Ini hari rayanya orang Jawa.”
Tolong, simpan argumen rasis tipis-tipis itu.
Ini tahun 2025, tapi literasi kita soal istilah “Jawa” masih setipis kulit ari salak. Dalam konteks ini, “Jawa” itu berasal dari kata “Jaba” (Luar). Jadi, Sugihan Jawa itu bukan tentang merayakan leluhur di Malang atau Yogyakarta. Ini adalah ritual pembersihan Bhuana Agung alias alam semesta alias segala sesuatu yang ada di LUAR diri kamu.
Jadi, saat kamu sibuk bikin story Instagram dengan caption “Rahajeng Sugihan Jawa” sambil merasa paling relijius, alam semesta mungkin sedang tertawa miris. Kenapa? Karena di pagi hari kamu memercikkan tirta pembersihan ke pelinggih dan natah rumah, tapi siangnya kamu buang puntung rokok sembarangan di selokan atau ninggalin gelas plastik kopi kekinian di pinggir jalan.
Kita sibuk meminta alam semesta (Bhuana Agung) bersih secara niskala, tapi secara sekala kita adalah polutan utamanya. Ironis, kan?
Sugihan Bali: Tombol “Delete History” Dosa
Lanjut ke hari Jumat (Sukra Kliwon Sungsang), giliran Sugihan Bali. Kalau kemarin kita bersihin “Luar”, sekarang giliran bersihin “Dalam” alias Bhuana Alit (Mikrokosmos/Diri Sendiri).
Tujuannya mulia: menyucikan badan fisik dan rohani supaya siap menyambut kemenangan Dharma di hari Galungan nanti. Tapi, mari kita lihat realitanya. Bagi banyak anak muda, Sugihan Bali tak ubahnya fitur “Clear Cache” atau “Delete History” di browser.
Mentalitasnya transaksional sekali: “Ayo melukat biar bersih auranya, biar dosanya ilang.”
Kenapa harus bersih? Ya biar ada space kosong buat nampung dosa-dosa baru pas Penampahan dan Galungan nanti. Kita membersihkan diri bukan untuk menjaga kesucian, tapi untuk mereset meteran dosa ke angka nol supaya pas pesta arak atau ghibah keluarga besar nanti, kita memulainya dengan hati yang “plong”.
Ritual Sugihan Bali seringkali berakhir menjadi ajang validasi sosial. Bangun pagi, pakai kebaya/kamen putih (biar kelihatan suci), lalu pergi melukat. Jangan lupa, prosesi belum sah kalau belum ada foto candid lagi disiram air pancoran dengan backsound gamelan syahdu di TikTok.
Apakah batinnya benar-benar bersih? Belum tentu. Apakah feed Instagram-nya jadi estetik? Sudah pasti.
Kesimpulan: Jangan Cuma Jadi Event Organizer Ritual
Sugihan Jawa dan Bali itu paket combo. Membersihkan yang di luar (Jawa/Bhuana Agung) dan yang di dalam (Bali/Bhuana Alit). Keduanya perlu keseimbangan.
Kalau kamu rajin melukat pas Sugihan Bali tapi kamarmu kotornya minta ampun, itu namanya pencitraan. Kalau kamu rajin bersihin pelinggih pas Sugihan Jawa tapi hatimu masih penuh dengki sama tetangga, itu namanya sia-sia.
Jadi, minggu ini, mari kita coba lakukan hal gila yang jarang dilakukan: benar-benar meresapi maknanya. Bersihkan sampah di got depan rumah (Sugihan Jawa in action), lalu minta maaf sama orang tua kalau selama ini sering nyusahin (Sugihan Bali in action).
Tapi ya sudahlah, kalau itu terlalu berat, setidaknya upload foto kebaya barumu. Siapa tahu dengan pura-pura bersih di sosmed, lama-lama kita jadi bersih beneran di dunia nyata.
Rahajeng Sugihan, Semeton. Jangan lupa senyum (walau dompet tipis jelang Galungan).