ORASI

Tatto Bali: Rela Nahan Sakit dan Habis Jutaan, Cuma Biar Dibilang ‘Beda’ Padahal Desainnya Sama Semua?

Selamat datang di Bali, di mana matahari selalu terbit (kecuali kalau ketutupan awan mendung karena mau hujan), ombak selalu memanggil (kecuali lagi flat), dan badan-badan lokal selalu dipenuhi ukiran estetis nan misterius. Ya, kita bicara tentang fenomena Tattoo Bali yang seolah sudah menjadi starter pack wajib, bersanding mesra dengan motor N-Max full modif dan hoodie di siang bolong.

Jangan kaget kalau pas lagi ngopi di coffeeshop Canggu, Bli yang lagi ngetik di MacBook-nya punya full sleeve gambar Rangda lagi pose yoga. Atau Kadek yang barista-nya, lengan kirinya dipenuhi tulisan Sansekerta yang (mungkin) artinya “Jangan parkir sembarangan” tapi dia sendiri parkir sembarangan. Ini bukan lagi soal premanisme era ’90-an yang meeting-nya di bawah pohon beringin sambil main kartu. Ini sudah era digital nomad, Bli. Preman sekarang meeting-nya pakai Zoom, dan tatonya itu biar gampang dikenali kalau pas disconnect sinyal.

Nah, Media Orasi, dengan segala kerendahan hati (dan dark humor tingkat tinggi), sudah merangkum beberapa alasan ilmiah (versi kami) mengapa tradisi “ngelukis di kulit” ini begitu digandrungi di Pulau Dewata:

1. Solusi Estetik Kamuflase Panu (atau Masalah Kulit Lain)

Mari jujur. Iklim tropis Bali itu suntok. Panas, lembap, gampang keringetan. Daripada panu di punggung atau bekas gigitan nyamuk gajah jadi spotlight utama saat pakai singlet pas ke pasar, mending ditutup gambar Barong atau tribal yang rumit. Problem solving ala Bali: ada masalah estetika, jawabannya seni. Sekalian biar pede pas selfie di pantai. Kan nggak lucu kalau caption-nya “hidup adalah anugerah”, tapi flek di bahu jadi pusat perhatian.

2. Checklist Kesuksesan (Ala Entrepreneur Muda Bali)

“Nanti kalau project A sukses, aku mau metattoo!” “Nanti kalau udah bisa beli Vespa klasik impian, aku tattoo di betis!” Tattoo di Bali kini menjelma jadi semacam piagam penghargaan pribadi. Penanda bahwa seorang Bli atau Gung sudah level up dalam hidup. Tato bukan lagi simbol pemberontakan, tapi simbol bahwa rekening sudah cukup tebal untuk membayar tattoo artist top yang antreannya kayak nonton konser Blackpink. Ini bukti nyata dari hustle culture yang berujung pada self-reward di atas kanvas kulit. Kalau udah sukses, ya wajar dong diabadikan di badan. Biar tiap pagi pas ngaca, ada achievement yang bisa dipamerin (ke diri sendiri, atau ke cermin).

3. Syarat Tidak Tertulis Jadi Anak Kopi (atau Scene Lainnya)

Coba nongkrong di Kodya, Seminyak, Berawa, atau mana pun yang ada vibes “anak gaul”-nya. Hampir bisa dipastikan, sebagian besar yang mondar-mandir itu punya rajahan di tubuhnya. Rasanya kayak ada memo tidak tertulis: “Jika ingin valid di scene ini, setidaknya punya satu tato. Minimal yang tulisan font tipis di pergelangan tangan.” Tato kecil-kecil jadi semacam lencana keanggotaan. Tanpa tato, jangan-jangan kamu dianggap turis nyasar yang lagi bingung cari restoran halal.

4. Solidaritas UMKM: Jadi Kelinci Percobaan Timpal (Teman) yang Baru Beli Mesin Tato Online

Nah, ini dia sisi humanisnya. Di Bali, semua orang adalah seniman. Termasuk timpal mu yang baru dua hari beli mesin tato dari Shopee dan ngebet mau latihan. “Bro, gratis di aku aja, sekalian buat portfolio.” Berawal dari free trial di punggung, berakhir jadi full sleeve gambar naga yang kepalanya mirip cicak. Ini bukan cuma soal seni, tapi juga tentang persahabatan, kepercayaan (buta), dan dukungan terhadap UMKM lokal (yang baru merintis). Kalau hasilnya amburadul, ya nggak apa-apa. Kan namanya juga proses dan learning curve. Yang penting timpal senang, kamu dapat tato gratis (meskipun desainnya di luar ekspektasi).

5. Yang Sebenarnya: Ya… Memang Seni.

Oke, cukup dark joke-nya. Di balik semua candaan di atas, Tattoo Bali pada dasarnya adalah seni. Pulau ini adalah rumah bagi seniman dari segala penjuru. Tato, bagi banyak orang, adalah bentuk ekspresi diri yang paling personal. Kanvas berjalan untuk cerita hidup, kenangan, keyakinan, atau sekadar apresiasi terhadap keindahan visual. Sama seperti ngukir kayu, menari, atau melukis di kanvas, tato adalah manifestasi kreativitas. Bedanya, kanvasnya itu kulit manusia. Dan kalau jelek, ya sudah, nggak bisa dihapus pakai tipex.

Jadi, apapun alasannya, entah karena estetika, self-reward, solidaritas pertemanan, atau memang murni seni, yang penting satu: pastikan jarumnya steril dan tattoo artist-nya punya sertifikasi (atau setidaknya reputasi bagus di kalangan timpal). Karena hidup itu singkat, Bli, Gek. Jangan sampai momen nyesel karena tato buruk lebih panjang dari momen menikmati arak ijo di Pan Tantri. Chill aja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *