ORASI

Timeline Bencana Besar di Bali, Dari yang Gaib Sampai yang Salah Sendiri

Bagi kebanyakan orang, gempa adalah gempa. Wabah adalah virus. Tapi di Bali, oh tentu tidak. Bencana besar di Bali adalah pabesen—sebuah “pesan” kosmik.

Anggap saja Bali ini grup WhatsApp keluarga, dan para Dewa serta leluhur adalah admin yang hobi mengirim “peringatan” dalam bentuk letusan gunung atau wabah penyakit. Mari kita lihat riwayat “obrolan” yang agak destruktif ini.

Era Kuno (sekitar abad 11–13): Kutukan Calonarang

Di era ini, tiba-tiba muncul wabah misterius. Rakyat panik, tabib bingung. Tentu saja, ini bukan masalah sanitasi atau virus. Ini murni drama.

Dikisahkan, ini semua adalah ulah Calonarang, janda sakti yang marah karena putrinya dilecehkan (atau ditolak) oleh raja. Solusinya? Daripada diplomasi, beliau lebih memilih menebar patch update berupa wabah mematikan. Ini adalah simbol abadi bahwa urusan sakit hati level “sakti” bisa berakibat fatal bagi seluruh kerajaan.

Zaman Kerajaan Bali (± abad 14–17): Kutukan Leak Pengemang & Lemah Tunjung

Cerita rakyat berlanjut. Ada lagi desa yang dilanda penyakit, lalu tenggelam. Entah ini Kutukan Leak Pengemang atau memang lokasinya rawan likuifaksi, tapi salahkan saja leak-nya.

Karena masalahnya gaib, solusinya juga harus gaib. Muncullah ritual Panglebur Leteh (penetralisir energi jahat). Karena kalau ada masalah supranatural, solusinya adalah membuat upacara yang lebih besar lagi.

Abad 18–19: Kemarahan Ratu Gede Mecaling

Wabah lagi. Kali ini namanya “gerubug”, menyebar ke seluruh Bali. Ini pasti bukan karena kapal dagang membawa penyakit baru, oh tidak.

Penyebabnya? Umat lupa melakukan satu SOP (Standar Operasional Spiritual): nunas tirta ke Nusa Penida. Ya, Ratu Gede Mecaling rupanya tersinggung karena urusan administrasi per-tirta-an tidak lengkap. Beliau tidak terima alasan. Akhirnya, dibuatlah Ritual Ngusaba Nusa, mungkin semacam “surat permintaan maaf” massal agar Beliau tidak marah-marah lagi.

1963 – Letusan Gunung Agung

Masuk abad modern, bencananya makin kolosal. Letusan terbesar, 1.500+ korban. Abu menutupi langit berbulan-bulan. Murni aktivitas seismik? Tentu saja tidak.

Ini adalah “tanda” ilahi. Kenapa? Karena umat sedang menyiapkan upacara Eka Dasa Rudra (ritual penyucian jagat 100 tahun sekali) dan dianggap “belum selesai sempurna”. Standar kesempurnaan para Dewa rupanya tinggi, dan feedback atas event planning yang kurang matang ini disampaikan langsung dari kawah gunung.

1977 – Tsunami Banyuwangi–Bali

Pesisir barat Bali (Jembrana, Negara) disapu gelombang. Puluhan korban jiwa. Kali ini tidak ada leak atau janda sakti yang disalahkan. Ini murni “ujian dari alam.” Alam semesta memang hobi memberi “tes dadakan” yang mematikan, hanya untuk mengecek apakah kita masih memperhatikan.

2002 & 2005 – Bom Bali

Kali ini, monsternya bukan dari niskala atau gunung berapi. Monsternya adalah manusia.

Tragedi kemanusiaan terbesar di Bali modern. 200+ korban, dunia berduka. Setelah porak-poranda oleh sesama manusia, barulah muncul semangat spiritual Nyomya Ring Jagat (menenangkan alam dan jiwa manusia). Ironisnya, kita yang merusak, kita juga yang repot-repot menggelar upacara untuk menenangkannya.

2017–2022 – Banjir & Longsor Besar

Di era paling modern, bencana jadi lebih… bisa diprediksi. Penyebab: Cuaca ekstrem, hutan gundul, dan pembangunan vila yang membabi buta tanpa tata ruang.

Banyak desa rusak. Tapi alih-alih bilang “Ini akibat kita serakah menutup drainase,” kita melihatnya sebagai tanda alam “ngelingang” (mengingatkan). Alam “mengingatkan” kita bahwa kalau pohon ditebang dan sawah dibeton, airnya tentu akan parkir di ruang tamu Anda. Sebuah konsep fisika dasar yang tampaknya perlu diingatkan pakai bencana.

Jadi, intinya: “Setiap bencana besar di Bali — baik alam maupun gaib — selalu dianggap bukan sekadar musibah, tapi cara alam dan dewa bicara.”

Entah para Dewa yang memang hobi “ngobrol” sambil teriak, atau kitanya saja yang baru mau mendengar kalau sudah ada yang hancur. Mungkin juga ini cara paling puitis untuk bilang: “Ini salah kita, tapi ayo kita salahkan kosmos.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *