Om Swastyastu, Ton! Apa kabar mental hari ini? Masih aman atau udah mulai retak liat harga tanah di sebelah rumah yang nol-nya makin panjang kayak gerbong kereta api?
Hari ini Media ORASI mau ngajak Khe sedikit merenung—bukan merenung suci di Pura, tapi merenungi nasib kita sebagai generasi muda Bali yang pelan-pelan mulai ngerasa kayak turis di tanah kelahiran sendiri.
Artikel ini adalah panduan singkat buat Khe yang mulai sadar kalau “Paradise Island” ini mungkin sebentar lagi cuma bakal jadi judul postingan Instagram, bukan tempat tinggal kita yang sebenernya. Siapin kopi (yang harganya masuk akal), tarik napas, dan mari kita tertawa getir bersama.
1. OTW Mengalami “The Betawi Syndrome”
Khe tau kan nasib warga asli Jakarta alias kaum Betawi? Dulu mereka punya kebun luas di Kuningan atau Sudirman. Sekarang? Minggir cantik ke pinggiran Depok atau Bekasi.
Nah, sadar nggak sadar, kita lagi otw ke sana, Ton. Bedanya, kalau mereka kegeser gedung pencakar langit, kita kegeser beach club sama villa estetik yang pagernya tingginya ngalahin tembok penjara.
Tanah warisan leluhur pelan-pelan berubah jadi resort private. Kita? Kita siap-siap aja jadi penonton. Nanti pas Galungan, mudik lokalnya bakal rasa touring antar provinsi saking jauhnya rumah Khe dari pusat kota. Gaspol, Wi!
2. Karpet Merah vs Karpet Berdebu
Ini fenomena yang bikin dada sesak tapi nggak bisa ke dokter karena BPJS ngantre. Coba perhatiin, kalau ada investor asing mau bangun villa di atas sawah produktif, sambutannya luar biasa. “Silakan Sir, this is paradise! We love dollar!”
Tapi giliran Khe, warga lokal asli, mau buka usaha angkringan atau warung kecil di tanah sendiri? Beuh, ribetnya ngalahin nyari jodoh di aplikasi kencan. “Eits, izinnya mana? Tetangga setuju gak? Banjar aman? Upeti udah setor?”
Giliran mereka, segala urusan AMDAL bisa sat-set kelar dalam semalam. Sakti mandraguna emang kekuatan mata uang asing ini. Kita mah apa atuh, cuma butiran debu di atas karpet merah mereka.
3. Matematika Ghaib: Gaji UMR, Biaya Hidup Sultan
Mari bicara soal dompet, topik paling sensitif buat Gung dan Gek sekalian. UMR Bali itu unik banget. Cukup buat makan nasi jinggo tiga kali sehari, tapi kurang buat napas lega.
Harga kopi di warkop hits udah standar internasional, harga tanah udah standar planet Mars, tapi gaji Khe? Masih standar UMR (Umur Masih Remaja). Mau nabung buat beli tanah sendiri? Bisa kok, Gung. Hitungan kasarnya sih, Khe harus kerja tanpa makan dan minum selama 150 tahun baru kebeli tuh tanah 1 are di Badung. Semangat ya!
4. Rumah Impian di Pusat Kota? Itu Cuma Mitos
Jangan mimpi punya rumah di Denpasar Selatan atau Kuta kalau bapakmu bukan Raja Minyak atau Juragan Villa. Realita anak muda Bali hari ini adalah: Kerja di Kuta/Seminyak, beli tanahnya di ujung Tabanan atau perbatasan Karangasem.
Setiap hari berangkat kerja rasanya bukan kayak mau ngantor, tapi kayak mau Tirtayatra. Jauh, panas, macetnya bikin tua di jalan. Sampai kantor udah lepek, pulang kerja udah gelap. Siklus ini berulang sampai Khe lupa caranya senyum tulus.
5. Solusi Jenius: Transmigrasi (Katanya)
Ini puncak komedi putar tahun ini. Katanya Bali udah “overpopulasi”, macet, dan semrawut. Terus, solusi yang ditawarkan apa? Ada himbauan halus buat warga lokal supaya transmigrasi.
Logika ini sungguh membagongkan, Ton. Pulau penuh sesak sama hotel, villa, turis, dan investor, warga aslinya yang disuruh pergi minggat ke pulau lain.
Wi, Gek, masa kita yang disuruh ngalah? Katanya “Tamu adalah Raja”, oke setuju. Tapi kalau Tuan Rumahnya disuruh pergi, berarti status kita apa dong? Outsourcing? Atau cuma event organizer di tanah sendiri?
Tertawalah Sebelum Dilarang
Mungkin 10 atau 20 tahun lagi, prediksi ini bakal kejadian. Kita bakal ketemuan di Sulawesi atau Kalimantan, duduk di warung kopi sambil ngomongin masa lalu: “Wi, dulu tiang punya tanah di Canggu lho. Sekarang tempatnya udah jadi parkiran helikopter.”
Jadi gimana? Udah siap mental buat jadi ‘orang asing’, atau masih mau pura-pura bahagia liat sunset sambil update story “Bali Life”?