ORASI

Tri Hita Karana: Filosofi Bali yang Dikagumi Dunia (dan Sering Kita Lupakan)

Pernahkah kamu, di tengah stres mikirin cicilan, melihat seorang turis asing—sebut saja namanya Chad dari Ohio—menatap canang di trotoar dengan tatapan seolah baru saja melihat malaikat turun dari langit? “Luar biasa,” bisiknya, “sebuah pengingat harian untuk bersyukur.” Di kepala kita? “Awas, jangan sampai kelindes motor.”

Selamat. Kamu baru saja menyaksikan keajaiban bagaimana filosofi Tri Hita Karana—yang bagi kita adalah “sistem operasi” bawaan lahir—dijual sebagai produk spiritual premium di pasar global. Mari kita bedah tiga “fitur” utama dari kearifan lokal ini yang bikin orang rela bayar mahal, sementara kita kadang lupa kalau punya.

Pilar Pertama Tri Hita Karana: Parhyangan

Spiritualitas ‘Original’, Sebelum Ada Aplikasinya

Parhyangan adalah hubungan harmonis dengan Tuhan. Di dunia luar, ini adalah industri bernilai miliaran dolar. Orang bayar aplikasi meditasi seharga kopi kekinian per minggu cuma buat dengerin suara ombak buatan. Mereka ikut silent retreat seharga motor bekas biar bisa “menemukan diri”.

Di sini? Kita punya paket unlimited gratis seumur hidup. Mebanten setiap pagi adalah sesi mindfulness tanpa instruktur. Odalan adalah festival spiritual yang lebih meriah dari Coachella. Chad dari Ohio butuh kelas yoga $50 untuk menenangkan pikirannya. Bapak kita? Cukup naruh canang, seruput kopi, dan damai sentosa seolah tidak pernah punya utang. Konsep spiritual dalam Tri Hita Karana ini, jujur saja, lebih canggih dari aplikasi manapun.

Pilar Kedua Tri Hita Karana: Pawongan

Komunitas Nyata, Bukan Sekadar Grup WhatsApp Keluarga

Pawongan adalah hubungan harmonis dengan sesama manusia. Di kota-kota besar, “komunitas” artinya grup online yang isinya orang-orang yang belum pernah bertemu, atau tetangga apartemen yang bahkan tidak tahu nama kita.

Di Bali, kita punya Banjar. Sebuah sistem sosial super canggih yang bikin Mark Zuckerberg minder.

  • Butuh bantuan? Nggak perlu bikin status galau. Cukup jalan ke rumah sebelah.
  • Ada hajatan? Lupakan event organizer. Satu banjar bisa jadi panitia dadakan, dari tukang lawar sampai tukang parkir. Ini crowdfunding dan teamwork orisinal.

Konsep Pawongan dalam Tri Hita Karana inilah yang bikin turis terkagum-kagum. Mereka takjub melihat orang saling bantu tanpa harus janjian di Google Calendar dulu. Kita? Kadang masih cari alasan biar nggak ikut rapat banjar.

Pilar Ketiga Tri Hita Karana: Palemahan

‘Sustainability’ Jauh Sebelum Jadi Bahan Konten

Palemahan adalah hubungan harmonis dengan alam. Sekarang, ini adalah tren. Orang bangga pakai sedotan bambu seharga ginjal dan menginap di “eco-lodge” yang tarifnya bikin nangis, semua demi konten “menyatu dengan alam”.

Filosofi kita sudah mempraktikkan ini sejak zaman Majapahit. Sistem Subak adalah bukti jeniusnya leluhur kita mendesain ekosistem berkelanjutan, dan kini diakui UNESCO. Sementara dunia baru sadar pentingnya ekologi, Tri Hita Karana sudah menjadikannya pilar kebahagiaan. Ironisnya? Kadang kita lebih pusing mikirin cara buang sampah plastik daripada merawat anugerah ini.

Jadi, Intinya Gimana?

Saat kita sibuk mencari “makna hidup” dari kutipan motivasi di Instagram, dunia luar justru sedang mati-matian meniru apa yang sudah kita punya. Tri Hita Karana bukan cuma pajangan di buku pelajaran atau bahan pidato pejabat. Ini adalah life-hack paling ampuh yang tersembunyi di depan mata kita.

Jadi, lain kali kamu melihat turis terpana oleh hal-hal yang Anda anggap biasa, jangan keburu sinis. Mungkin mereka baru saja menyadari sesuatu yang kita lupakan: kita sedang hidup di dalam sebuah kemewahan. Sebuah resep kebahagiaan yang, kalau kita tidak menjaganya, mungkin suatu hari nanti hanya bisa kita lihat di brosur pariwisata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *