Kita semua tau jargon “Work From Bali” itu sakti mandraguna. Bayangannya: duduk di cafe estetik, laptopan ditemani coconut, background sawah hijau, sambil meeting zoom sama klien di New York. Idaman banget, kan? Itu definisi “Digital Nomad” yang kita amini bareng-bareng.
Tapi, belakangan ini definisi “berkarya” di Bali makin agak lain. Bukan coding, bukan desain grafis, bukan juga trading krypto. Ternyata ada segmen “kreator” impor yang sibuk bikin konten… ehem, olahraga malam. Iya, di siang bolong. Di villa sebelah rumah Khe mungkin?
Creator Economy (Lendir) 4.0
Jujur aja, kita nggak munafik. Bali emang tempat party, tempat have fun. Tapi kasus Mbak Bonnie dan kawan-kawannya ini ngebuka mata kita lebar-lebar. Ternyata, tripod dan ring light yang mereka bawa masuk villa itu bukan buat bikin review nasi campur, Wi.
Mereka bilang ini “Creator Economy”. Ya bener sih, ada creator-nya, ada ekonominya (cuan kenceng, Bos!). Tapi kalau “jualan”-nya di tanah orang, pake fasilitas wisata, terus ngelanggar hukum +62, itu namanya bukan entrepreneurship. Itu namanya cari penyakit.
Kita dukung pariwisata bangkit, tapi bukan bangkit yang “itu”.
Pererenan: Dulu Zen, Sekarang Sin?
Dulu, orang melipir ke Pererenan atau pelosok Ubud nyari Zen. Nyari ketenangan, denger suara jangkrik, liat bebek baris di sawah. Healing jiwa raga.
Sekarang? Kasian tuh pekak dadong atau tetangga villa yang niatnya mau istirahat. Niat denger suara alam, eh malah denger suara “kucing kejepit” versi Dolby Surround 7.1 dari villa sebelah. Mau ditegur, takut dibilang nggak asik. Didiemin, kok ya makin menjadi.
Ini bukan soal kita sok suci, Ton. Ini soal respect. Khe bayangin, desa yang paginya dipake mebanten, malemnya dipake produksi film biru. Vibe-nya jadi tabrakan, antara dupa wangi sama bau… ah sudahlah.
Logika “It’s Art, Bro”
Yang paling bikin geleng-geleng kepala itu defense mechanism-nya. Kalau ketauan, alasannya klasik: “Bali is so open minded, this is art, expression of freedom.”
Woi, Gung, Gek! Open minded sama Open BO (Bikin Onar) itu beda tipis di mata hukum sini. Kita punya konsep Tri Hita Karana—hubungan manusia sama Tuhan, alam, dan sesama. Kalau Khe dateng ke sini cuma buat ngeksploitasi tempat ini jadi latar belakang fantasi liar Khe tanpa mikirin aturan lokal, sorry to say, Khe bukan turis. Khe hama.
Senimannya Bali bikin patung, lukisan, tabuh gamelan. Bukan bikin video durasi 10 menit di OnlyFans pake latar Pura atau sawah terasering. Itu bukan seni, itu soft porn dikasih filter vintage.
Jadi gimana, Ton? Kita butuh turis, jelas. Kita butuh dolar, pasti. Tapi apa kita rela Bali jadi “Studio Alam” buat konten begituan?
Buat para “kreator” nakal di luar sana: Immigration is watching. Jangan kaget kalau lagi asik live streaming, yang dateng bukan viewer, tapi petugas pake rompi biru.
Dan buat kita warga lokal: Kalau denger suara aneh-aneh dari villa sebelah, jangan cuma direkam buat bahan gosip di banjar. Laporin, Ton! Biar Bali tetep ajeg, bukan ajeb-ajeb yang kebablasan.